Mencoba memahami tentang diri di ujung senja, di tepi bumi pertiwi. Awan berarak merangkai segenap cerita dari segala rasa yang tertuang dalam kata-kata tak berjeda. Ini memang cerita biasa, ketika senja sendiri di ujung gedung penyimpan sejuta pengetahuan diri.
Air mata bukan untuk mengalir memikirkan diri, tetapi menelusuri bahwa setiap hal yang terjadi menjadi suatu fenomena dari rangkaian kehidupan yang sejauh ini mendekat dan menepi, tetapi kadang kala menjauh seperti berada di ujung negeri.
Cerita seakan berulang hanya berbeda objek sasaran, tetapi buncahan rasa tersebut ternyata belum memberi pelajaran tentang hakikat rasa yang seharusnya berada pada pengejawantahan memaknai kehidupan. Kenapa cerita terus berulang? Dengan cara bagaimana untuk menyelesaikan kisah, sehingga selesai untuk cerita saat ini saja?
Pengulangan seharusnya membawa pelajaran dan hikmah, segala solusi telah ditelusuri, tetapi apa hikmah yang bisa menyadari dan membangun suatu perubahan, sehingga kisah masa lalu tidak harus berulang dengan objek sasaran yang berbeda?
Bicara rasa, seperti senja, yang menautkan berbagai hal tentang perjalanan kehidupan. Pergantian dari siang kepada malam, seiringnya bergulirnya sang surya bergantikan rembulan malam. Pengulangan kali ini semoga menjadi penutup dari buncahan rasa, menemukan solusi dari problematika rasa.
Setiap hantaman rasa tersebut, terasa berat dan menyesakan. Perjalanan yang mengacu bahwa ini kehidupan, tetapi rangkaian mana yang hendaknya menjadi penutup dari hal yang senantiasa terulang.
Tangisan yang bergumpal menjadi trauma pada setiap hal yang menyangkut tentang kepercayaan dan keniscayaan. Kali ini pun, tidak ingin menggenggam imajinasi yang tak bertepi. Biarlah dalam senja sendiri, menemukan hakikat makna hidup dalam perguliran rasa, sehingga tidak mesti berulang kembali. Terima kasih Tuhan atas rasa tersebut, saya kembalikan dan mohon tidak berulang dengan tangisan. Kali ini berakhir dengan senyuman dan kebahagiaan semua orang yang terkasih atas rahmat dan ridah Tuhan.
Motekar 