Kemarau panjang telah menyadarkan kita akan pentingnya air, karena air tanah sudah tidak bisa lagi dipompa. Tidak sedikit yang membeli air untuk keperluannya sehari-hari. Kekeringan ini ternyata bukan salah satu penyebabnya, ada penyebab lainnya yang berkaitan dengan tidak adanya air tanah, yaitu tata wilayah kota. Maka, Selamatkan air tanah, atau Jakarta Tenggelam?
Selasa, 15 Oktober 2019, Kementrian Energi dan Sumber Daya Manusia mengadakan talkshow pentingnya air tanah. Dengan Tema, “Selamatkan air tanah Jakarta, sekarang atau tunggu Jakarta tenggelam?”
Tema yang sungguh membawa pemicu untuk ingin mengetahui pentingnya air tanah dan potensinya pada lingkungan. Pak Ignasius Jonan selaku Menteri ESDM dalam sambutannya paparkan bahwa penggunaan air tanah yang berlebihan mengakibatkan penurunan tanah.
Disajikan juga video dokumenter dampak dari penurunan air tanah. Sungguh prihatin karena daerah utara Jakarta sudah terkena dampaknya, dengan banjir yang tidak pernah surut sejak dua tahun terakhir.Berlanjut dengan presentasi dari Rudy Suhendar selaku Kepala Badan Geologi yang menjelaskan pentingnya air tanah dan dampak penurunannya di Jakarta. Banyak zona merah yang seharusnya tidak dieksploitasi air tanahnya. Beriringan dengan tumbuhnya infrastruktur dan properties, maka penggunaan air tanah sudah berlebihan.
Saat ini, kebutuhan air bersih di Jakarta diperkirakan mencapai 846 juta meter kubik per tahun, sedangkan layanan air PDAM Jakarta hanya mencapai sekitar 62%, sehingga sisa kebutuhan air bersih dipenuhi dari pengambilan air tanah.
Maraknya pengambilan air tanah secara berlebihan di Jakarta mengakibatkan turunnya muka air tanah yang ikut menjadi penyebab terjadinya penurunan tanah (landsubsidence) dan intrusi air laut, terutama di wilayah utara Jakarta.
Pada tahun 2013, muka air tanah terdalam yang terekam di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta sekitar -40 meter di bawah permukaan laut (m.dpl). Sementara pada tahun 2018 mengalami perubahan positif terpantau muka air tanah terendah di Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta utara pada level -35 m.dpl. Laju penurunan permukaan tanah tertinggi yang terukur oleh alat GPS Geodetik adalah 12 sentimeter per tahun di daerah Ancol wilayah Jakarta Utara. Faktor lain yang menjadi penyebab penurunan permukaan tanah Jakarta antara lain kompaksi tanah secara alamiah, pembebanan akibat pembangunan, dan geotektonik.
Kementerian ESDM melalui Balai Konservasi Air Tanah (BKAT) Badan Geologi bekerjasama dengan pemerintah DKI Provinsi Jakarta melakukan pengetatan pengambilan air tanah dan pengawasan terhadap pengguna airtanah yang tidak sesuai aturan.
Upaya ini menunjukkan hasil yang positif, antara lain ditunjukkan dengan adanya kenaikan kedudukan muka airtanah di beberapa tempat di wilayah Utara CAT Jakarta. Salah satu contoh di Kawasan JIEP Pulogadung terpantau melalui sumur pantau Badan Geologi pada tahun 2016 tercatat muka airtanah berada pada posisi -22,46 m.dpl, hingga tahun 2019 tercatat kenaikan muka airtanah mencapai 2,45 meter dan muka airtanah terkini berada pada posisi -20,01 m.dpl.
Hasil pemantauan kualitas air tanah pada 277 titik sumur pengamatan yang terdiri dari sumur gali, sumur pantek, sumur produksi dan sumur pantau memperlihatkan bahwa akuifer tertekan dengan kedalaman akuifer 40 – 140 meter memiliki potensi airtanah dengan kualitas lebih baik dibandingkan dengan akuifer tidak tertekan (kedalaman 0-40 meter).
Sebelumnya, tahun 2016 BKAT melakukan uji infiltrasi di 70 titik pengukuran untuk mengetahui seberapa cepat air hujan meresap kedalam tanah atau akuifer, dari hasil pengukuran laju infiltrasi di wilayah CAT Jakarta berkisar antara 7,18 x 10-5 sampai 1,72 x 10-2 cm/detik dengan kategori infiltrasi tanah sedang – lambat.Setelah diskusi, kami berkesempatan melihat sumur pantau di Kantor Kementrian ESDM.
Oleh karena itu, kini saatnya kita untuk menjaga air tanah Jakarta, dan salah satu caranya dengan pembatasan eksploitasi tanah di zona merah karena kawasan tersebut daerah resapan. Yuk, kita berhemat air dan menjaga lingkungan.